Rabu, 11 Juli 2012

Makalah Suku Mentawai













Smoga Makalah ini bisa membantu dlm
menyelesaikan tugas rekan2 semua, dan semoga bermanfaat



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latarbelakang Masalah

Nenek moyang orang Mentawai mungkin datang ke Pulau Siberut sekitar 300 tahun yang lalu. Asal usul mereka belum diketahui, namun beberapa literatur dan peniliti mengarahkan dan menduga kuat, mereka berasal dari Batak Kuno, Sumatera Utara. Tipe kebudayaan ini mungkin menyebar di seluruh Indonesia pada masa lampau, tetapi telah dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang datang dari daerah luar).

1.2  Perumusan Masalah

1. Sistem Perladangan Di Mentawai
2. Lakokaina (Mengkeramatkan Kawasan Alami)
3. Sistem Perbururuan Suku Mentawai
4. Strategi Pengembangan Ekowisata
5. Metawai yang Mulai Hilang di Indonesia
6. Struktur Sosial
7. Budaya Tradisional

.   
1.3 Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi nilai Mata Pelajaran Sosiologi dan untuk dapat menambah pengetahuan serta wawasan pembaca mengenai Suku Mentawai. Selain itu dapat pula dijadikan sebagai referensi bacaan bagi para Siswa Sma Negeri 1 Surade.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Sistem Perladangan Di Mentawai
Masyarakat Mentawai adalah masyarakat tradisional yang masih mempertahankan kehidupan adat dan tradisi.  Hal ini tercermin pada upacara-upacara di setiap tahap proses perladangan yang merupakan mata pencaharian pokok penduduk.  Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan masih tradisional, seperti: tegle, suki, lading,kampak.
    
      Satu hal yang pantas dipuji dalam sistem berladang  masyarakat Mentawai adalah kearifan tradisional mereka dalam memelihara alam lingkungan.  Masyarakat Mentawai tidak pernah mengenal adanya slash and burn (tebang dan bakar) yang dapat menimbulkan polusi udara atau, bahkan mungkin, kebakaran hutan, Berdasarkan kepercayaan yang diwarisi turun temurun, membakar pohon di hutan akan mengakibatkan kemarahan roh-roh penjaga hutan dan akan dapat mendatangkan penyakit bagi si pembakar atau pun keluarganya. Tanaman yang sudah ditebang maupun ditebas dibiarkan membusuk di tempatnya, tidak disingkirkan.  Namun pada kenyataannya hal itu justru berguna karena akhirnya menjadi pupuk alami bagi ladang mereka.  
Alasan sebenarnya mereka melakukan itu adalah untuk menghemat waktu dan tenaga, mengingat ladang yang mereka miliki terlampau luas dan ada di berbagai tempat.  Beberapa dari mereka beranggapan bahwa membersihkan semak-semak yang sudah ditebas atau batang kayu yang sudah ditebang merupakan pemborosan waktu dan tenaga saja.  Mereka pun tidak pernah menggunakan pupuk buatan, karena itupun dianggap sebagai pemborosan, karena harganya relatif mahal bagi mereka.
          Masyarakat Mentawai memiliki kearifan tradisi sendiri dalam mengolah ladang, ada ritual khusus yang tak boleh ditinggalkan, kalau ingin hasil ladangnya maksimal. Berikut tata cara pembukaan ladang di Muntei, Siberut Selatan, hasil penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Berladang atau dalam bahasa Mentawai mumone merupakan salah satu upaya yang dilakukan masyarakat Mentawai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pembukaan lahan untuk ladang biasanya dilakukan oleh beberapa keluarga yang tergabung dalam satu uma.
          Tahap pertama dalam rencana pembukaan ladang adalah musyawarah di tingkat uma. Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh anggota uma, yaitu para tetua uma dan anggota-angota yang lebih muda, terutama dari keluarga yang ingin membuka ladang. Musyawarah ini dipimpin oleh sikebukkat uma (kepala uma). Musyawarah tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai lokasi dan luas lahan yang akan dibuka.
          Tahap kedua melakukan survei lapangan untuk mengetahui hal-hal seperti areal mana yang cocok, bagaimana kesuburan tanahnya, berapa luas lahan yang akan dibuka serta batas-batasnya Survei ini bisa makan waktu dua minggu.
Tahap selanjutnya musyawarah lagi. Hasil survei dibicarakan di uma, terutama untuk memfinalkan lokasi, luas ladang dan kejelasan batas-batas lahan, sekaligus membicarakan kapan punen pasibuluake’ atau panaki, serta proses pembersihan semak belukar dilakukan.  
Sebelum mulai membuka hutan atau menebang pohon-pohon, harus terlebih dahulu dilakukan upacara “Panaki yaitu sebuah ritual meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan. Masyarakat adat Mentawai meyakini bahwa ada sebuah kekuatan di luar manusia yang telah menjaga hutan dan alam di sekitarnya. Oleh sebab itu, setiap akan melakukan aktivitas di hutan termasuk menebang pohon harus terlebih dahulu meminta izin sebagai bentuk penghargaan manusia terhadap kekuatan di luar diri mereka yang telah ikut membantu menjaga alam bagi kelangsungan hidup manusia.
          Berladang merupakan aktivitas penting sebab merupakan salah satu cara pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Di Siberut, perladangan dibuka  di sekitar kawaan hutan, dapat pada lokasi yang berbukit-bukit (leleu) dan juga pada lokasi yang datar (su’suk). Namun meskipun demikian berdasarkan pengetahuan tradisional, ada beberapa kriteria atau pertimbangan yang harus dipenuhi ketika akan membuka kawasan perladangan, antara lain :
·       Tidak boleh membuka perladangan di lokasi yang curam, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya longsor.
·        Perladangan baru juga tidak akan dibuka di kawasan yang banyak terdapat pohon-pohon kayu yang bermanfaat untuk bahan bangunan atau rumah, sampan dan peralatan rumah tangga, dll.   

2.2    Lakokaina (Mengkeramatkan Kawasan Alami)
Masyarakat Mentawai di Muntei mempercayai bahwa kawasan tertentu seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, rawa dan sebagainya dijaga oleh mahluk halus yang disebut lakokaina. Mereka yakin lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus menahan rezeki, karena itu harus dibujuk dan dihibur lewat punen atau lia. Untuk itulah punen pasibuluake’ diselenggarakan. Tapi, tak seorang Mentawaipun berani menyebut nama lakokaina, mereka takut kualat, artinya nenek moyang atau sateteumai (nenek moyang kami).  
          Punen Pasibuluakek diadakan di uma sibakkatpolag (pemilik ladang) dan dipimpin oleh sikebukkat uma serta dihadiri oleh semua anggota uma, dari yang paling tua sampai yang masih bayi. Para sinuruk (kerabat) dan tetangga dekat juga diundang untuk makan bersama.  Ayam dan babi disembelih dan dimakan ramai-ramai. Otcai (bagian) dibagi sama rata. Tak ada yang tak mendapatkannya, bahkan jiwa semua benda di tempat tersebut juga dikasi, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu. Terutama sekali tentu buat teteu di puncak-puncak pohon. Mereka harus dibaik-baiki benar-benar, kalau tidak dia bisa marah dan mengubrak-abrik ladang yang akan dibuka, atau membuat semua tanaman mati tanpa sebab, atau yang lebih sadis, membiarkan tanaman tumbuh subur sehingga menimbulkan harapan di hati peladangnya, lalu membuat semua tanaman tersebut tak berbuah.
          Mengkeramatkan kawasan alami seperti, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, rawa dan sebagainya secara tidak langsung masyarakat mentawai telah menjaga kawassan tersebut karena ada batasan-batasan tertentu untuk mengelola dan menjamahnya. Kearifan ini harus tetap dijaga dan dilestarikan karena dapat menjaga keberlangsungan kelestarian alam.

2.3  Sistem Perbururuan Suku Mentawai
Berburu merupakan sebuah aktivitas kebanggaan kaum laki-laki Mentawai. Kebanggaan tersebut dapat dilihat dari pajangan tengkorak binatang buruan (abakmanang) di dalam uma. Selain sebagai ajang menguji keahlian dan ketrampilan menggunakan peralatan berburu (busur dan anak panah), berburu juga menjadi sebuah bentuk pengetahuan tradisional masyarakat adat Mentawai terhadap alam dan fenomenanya. Sebab berburu tidak dilakukan setiap saat, ada masa atau waktu tertentu yang dianggap baik untuk berburu, seperti perhitungan bulan. Berburu juga biasanya dilakukan sebagai penutup upacara atau pesta adat (puliaijat). Selain itu setiap kali berburu, berlaku tabu (kei-kei) yang harus dijalani oleh setiap orang yang ikut pergi berburu.
          Berburu juga dilakukan dengan upacara panangga yang maknanya sama dengan upacara panaki yaitu meminta izin terlebih dahulu kepada roh-roh penjaga hutan sebagai penghargaan dan rasa terima kasih.
          Kegiatan berburu di mentawai ini termasuk pada kegiatan konservasi karena memiliki aturan dan tatacara yang tepat. Perburuan ini dapat membuat populasi hewan yang ada dihutan  menjadi sehat karena dilakukan pada waktu-waktu tertentu serta mempertimbangkan ukuran, umur dan satwa-satwa tertentu saja.

 2.4   Strategi Pengembangan Ekowisata
        Kaerifan tradisional yang terdapat di Mentawai dapat dikembangkan menjadi kegiatan ekowisata, karena kearifan tradisional merupakan unsur dari kebudayaan yang merupakan salah satu dari prisip ekowisata. Kearifan tradisional tersebut harus dijaga dan dilestarikan, salah satunya adalah dengan mengembangkannya menjadi sebuah kegiatan ekowisata.
          Pengembangan ekowisata di Mentawai dilakukan untuk melestarikan  kearifan tradisional serta meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal dengan taetap memperhatikan daya dukung lingkungan. Kegiatan ekowisata juga dapat menciptakan kesadaran wisatawan akan perlunya konservasi atau menjaga lingkungan melalui kearifan masyarakat lokal dengan dikemas menjadi program ekowisata.
          Kegiatan ekowisata yang dikembangkan melibatkan peranan masyarakat lokal sebagai subjek atau sebagai penyelenggara kegiatan wisata dan sesuai dengan bentuk-bentuk kearifan tradisional yang ada dalam kehidupan masyarakat lokal yaitu, sistem perladangan, mengkeramatkan lingkungan alami, serta sistem perburuan.
1.    Berladang dengan masyarkat lokal
          Wisata berladang dengan masyarakat dilakukan sesuai dengan tatacara masyarakat tersebut menjalankan aktivitasnya di ladang. Wisatawan diajak untuk melakukan kegiatan yang sama dengan cara dikemas dalam bentuk-bentuk yang menarik.
2.    Traking di hutan
          Wisata bertualang di hutan dilakukan sesuai dengaan tatacara yang harus berlaku sesuai aturan-aturan suku mentawai. Sebelum memasuki kawasan hutan wisatawan diharuskan mengikuti upacara adat yang biasa dilakukan masyarakat setempat. Setelah itu wisatawan boleh memasuki hutan dengan didampinggi oleh penduduk lokal.
3.    Wisata berburu
          Wisata berburu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat. Wisata berburu hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja karena harus memperhatikan keadaan populasi dan keadaan satwa yang akan diburu. Sebelum berburu wisatawan mengikuti upacara adat untuk meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan untuk berburu yang dipandu oleh masyarakat lokal.
          Kegiatan wisata yang dikembangkan di Mentawai sesuai dengan Bentuk-bentuk kearifan tradisional serta melibatkan masyarkat lokal dalam pelaksanaan dan pengelolaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serat dapat meningkatkan pola pikir masyarakat tersebut dengan tidak menghilangkan kebiasaan yang positif seperti halnya kearifan tredisional yang selama ini mereka pertahankan.

2.5   Metawai yang Mulai Hilang di Indonesia
Suku Mentawai merupakan kelompok masyarakat yang hidup dan menetap di kepulauan Mentawai, propinsi Sumatera Barat.  Turun temurun, suku Mentawai tinggal di empat pulau besar di kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara serta Pagai Selatan. Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia.Untuk menuju ke kepulauan Mentawai, anda harus menyeberangi laut dengan  menggunakan perahu motor. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang lebih kurang 100 kilometer.  Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Di Mentawai, sebuah Uma biasanya dihuni oleh 5 hingga 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei. Sikerei itulah yang oleh suku Mentawai dianggap sebagai tetua. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku Mentawai. Di dalam Uma itulah, suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit.
Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian suku Mentawai masih tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain.
Sikerei, tetua di Mentawai-pun masih mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita, untuk menutup tubuh bagian bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju. Kalaupun ada suku Mentawai yang mengenakan kain sarung ataupun pakaian lengkap, jumlahnya hanya beberapa orang saja.
Suku Mentawai hidup terikat dengan aturan adat. Salah satu aturan adat yang selalu mereka jalankan yakni Arat Sabulungan. Arat berarti adat, sementara Sabulungan bermakna daun. Jika diartikan, Arat Sabulungan mengatur kehidupan suku Mentawai untuk menghormati dan menjaga daun. Berdasarkan ajaran leluhur Mentawai, daun diyakini sebagai tempat bersemayamnya dewa hutan, dewa gunung, dewa laut, serta dewa air.
Suku Mentawai juga meyakini daun menjadi penghubung antara Sang Pencipta dengan manusia. Begitu kuatnya kepercayaan suku Mentawai terhadap kekuatan daun, pantang bagi keturunan suku Mentawai untuk merusak hutan. Mereka dilarang untuk menebang hutan sembarangan. Untuk memasak, mereka hanya diperbolehkan mengambil ranting pohon yang telah jatuh ke tanah. Jika melanggar, mereka akan mendapat sanksi adat. Bahkan mereka percaya, jika merusak hutan, musibah dapat menghampiri kehidupan masyarakat Mentawai.
Hutan menjadi tempat utama bagi kehidupan suku Mentawai. Mereka mendirikan Uma atau rumah di dalam hutan. Di dalam hutan itu pula, mereka mencari hewan buruan untuk dimakan. Monyet, babi hutan, serta kelelawar menjadi sasaran rutin bagi suku Mentawai. Jika dibandingkan dengan jenis hewan lainnya, suku Mentawai menganggap monyet sebagai hasil buruan yang paling berharga.
Ketika ada warga berhasil mendapat buruan monyet, mereka jmemanggil anggota keluarga serta kerabat lainnya untuk ikut menikmati monyet tersebut. Membagi rata hasil buruan dan harus dihabiskan tanpa sisa menjadi kewajiban bagi Suku Mentawai. Mereka percaya, jika ada hasil buruan yang tidak dihabiskan ketika itu juga, malapetaka akan menimpa seluruh keluarga. Jenis hewan yang pantang untuk diburu adalah anjing. Mereka menganggap, membunuh dan memakan anjing merupakan sebuah pelanggaran adat. Bagi mereka, anjing merupakan hewan kesayangan yang hanya boleh untuk dipelihara bukan untuk dimakan.

Sejak dulu, suku Mentawai selalu menerapkan hidup menyatu dengan alam. Merusak alam dan berburu secara liar diyakini dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan suku Mentawai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka tidak hanya bergantung pada berburu. Mereka mencukupi kebutuhan makan dengan cara beternak babi dan ayam. Tak hanya itu, setiap kali mereka menebang pohon sagu untuk diolah menjadi bahan makanan, suku Mentawai menggantinya dengan menanam pohon sagu yang baru.
Jika suku Mentawai dapat hidup sederhana dan mencintai alam, bagaimana dengan anda? Mengingat saat ini alam membutuhkan bantuan dari tangan manusia, kebiasaan hidup suku Mentawai dapat dijadikan contoh. Tertarik untuk melihat kehidupan suku Mentawai lebih dekat lagi, kepulauan Mentawai di propinsi sumatera Barat dapat menjadi kunjungan anda berikutnya.


2.6       Struktur Sosial
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma.
Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Secara tradisional uma mempunyai wewenang tertinggi di Siberut. Selama rezim Orba fungsi organisasi sosial uma kurang begitu berfungsi tetapi sejak era reformasi uma mulai digalakkan kembali dibeberapa Desa dengan dibentuknya Dewan Adat. Sejak otonomi daerah bergulir direncanakan satuan pemerintah terendah yaitu “ laggai”.

2.7       Budaya Tradisional
Menurut agama tradisional Mentawai (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit.
Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dankepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.

Upacara agama dikenal dengan sebagai punen, puliaijat atau lia harus dilakukan bersamaan dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, maka sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian.

Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun.
Bagaimanapun juga, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan cepat dan sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai.
Dalam melakukan kegiatan beerburu, pembuatan sampan, merambah/membuka lahan untuk ladang atau membangun sebuah uma maka biasanya dilakukan secar bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan/upacara.

Makanan pokok masyarakat di Siberut adalah sagu (Metroxylon sagu), pisang dan keladi. Makanan lainnya seperti buah-buahan, madu dan jamur diramu dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein seperti rusa, monyet dan burung diperoleh dengan berburu menggunakan panah dan ikan dipancing dari kolam atau sungai
Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Protestan, Islam atau Bahai. Walaupun demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang teguh religinya yang asli, ialah Arat Bulungan. Arat berarti “adat” dan bulungan berasal dari kata bulu (= daun).

Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.

Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.

Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).

Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.

Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.

Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.

Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.

Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.

Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas.

Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.

Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan (2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.

Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.










BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suku Mentawai merupakan kelompok masyarakat yang hidup dan menetap di kepulauan Mentawai, propinsi Sumatera Barat.  Turun temurun, suku Mentawai tinggal di empat pulau besar di kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara serta Pagai Selatan. Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia.Untuk menuju ke kepulauan Mentawai, anda harus menyeberangi laut dengan  menggunakan perahu motor. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang lebih kurang 100 kilometer.  Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.

3.2 Saran
Makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan serta saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan tersebut.










DAFTAR PUSTAKA

4.      http://uun-halimah.blogspot.com/2007/12/sistem-kepercayaan-orang-mentawai.html

4 komentar:

  1. makasih makalahnya ngebantu tugas ane

    BalasHapus
  2. Pendapat tentang suku Mentawai

    BalasHapus
  3. Get free race tech titanium watch - ITIAN GOLD
    With its 2019 ford fusion hybrid titanium stunning design and distinctive unique design, the watch makes for a camillus titanium knife thrilling gaming experience where can i buy titanium trim like no other. Made exclusively titanium wedding band for titanium fidget spinner a

    BalasHapus